Senin, 21 Desember 2009

Perfilman Indonesia Hanya Bisa Merangkak?

“Dengan sekuat tenaga dia berlari ke sebuah tempat yang penuh kontainer. Dia pun mulai mengerahkan kemampuannya melawan para musuh yang satu per satu menyerangnya tanpa ampun. Melompat dari box satu ke box yang lainnya. Demi menyelamatkan Astri, dia rela mati-matian melawan anak buah mucikari tersebut.”


Cerita di atas merupakan sekilas adegan yang terdapat di dalam film Merantau, film action Indonesia yang diputar serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 6 Agustus 2009 lalu dan pemutaran perdana tanggal 4 Agustus 2009 di Jogja NEDPAC Asian Film Festival. Film yang berdurasi 135 menit ini dibintangi oleh bintang baru yaitu Iko Uwais (Yudha), Sisca Jessica (Astri), artis senior Christine Hakim (Ibu Yudha), Dony Alamsyah (Uda Yudha, Yayan), dan beberapa pemain lainnya. Selain memakai pemain film dalam negeri, film ini juga menampilkan kepiawaian aktor laga Perancis, Laurent Buson dan aktor Denmark, Mads Koudal dalam beraksi.

Film ini bercerita tentang seorang anak bernama Yudha (Iko Uwais) asal Agam, Bukittinggi, yang berniat untuk pergi merantau ke Jakarta. Dengan bermodalkan ilmu silat Harimau yang dia punyai, dia pun melangkah meninggal kampung kelahirannya untuk mencari kehidupan di ibukota. Namun bukan pekerjaan yang dia dapat, melainkan musuh yang menghampirinya. Berawal dari pertemuannya dengan seorang perempuan bernama Astri (Sisca Jessica), dia malah terjebak ke dalam masalah trafficking. Dengan kemampuannya bersilat, dia menolong wanita tersebut lari dari kejaran mucikari. Walaupun pada akhirnya dia harus merelakan nyawanya melayang di tangan musuh besarnya.

Tata perkelahian di film Merantau ini, jauh lebih baik dibandingkan dengan film-film action Indonesia lainnya. Adegan-adegan tersebut bukan rekayasa. Dan pemainnya, Iko Uwais, memang asli seorang pesilat yang hebat. Dia merupakan juara pencak silat tingkat nasional dan merupakan anggota tim demonstrasi pencak silat Indonesia ke berbagai negara. Walaupun bukan asli orang minang, tapi dia sudah mendalami ilmu beladiri ini sejak kecil. Jadi, saat pembuatan film ini, Uwais melakukan sendiri adegan perkelahian, melompat dari kontainer satu ke kontainer yang lain, tanpa bantuan stuntment.

Teknik kamera dari film yang memakan waktu 4 bulan dalam pembuatannya ini terlihat sangat profesional. Ini dapat terlihat saat adegan Yudha di kejar oleh musuhnya dengan menggunakan sepeda motor. Adegan ini benar-benar terlihat begitu nyata dan membuat para penonton menjadi berdebar-debar. Selain teknik kameranya yang mengesankan, sound dari film ini juga memberikan makna yang mendalam. Di dalam setiap scene perkelahian pasti akan terdengar musik instrumental, gabungan musik modern dengan musik tradisional minang. Film ini mengambil setting di Jakarta dan Bukittinggi. Hamparan sawah yang indah semakin menambah keistimewaan dari film yang diproduseri oleh Ario Sagantoro tersebut.

Film Merantau bisa dikatakan merupakan “angin segar” di dalam perfilman Indonesia saat ini. Mengapa demikian? Film yang penuh adegan laga ini hadir di saat film bertemakan percintaan, horor, dan film “horor-bugil” sedang marak-maraknya di produksi. Dan telah memberikan warna baru dijagad hiburan tanah air. Walaupun sebenarnya kita tak bisa terlalu berbangga dengan film tersebut. Saya berkata demikian dikarenakan film yang kabarnya akan mengikuti Festival Fantastic Award di Puchon, Korea ini bukan disutradarai oleh orang Indonesia. Melainkan sutradara asal Inggris, Gareth Huw Evans.

Sampai sekarang saya masih tak habis pikir, mengapa orang asing yang mengolah kebudayaan kita menjadi film. Mengapa bukan sutradara kita? Ke mana para sutradara Indonesia? Melihat fenomena ini, saya menjadi tidak heran mengapa begitu banyak kebudayaan Indonesia yang lepas ke negara asing. Karena Indonesia sendiri tidak bisa menjaga dan mengembangkan budaya yang mereka punya.

Kalau melihat kondisi perfilman di Indonesia sekarang ini, secara kuantitas menurut Sub Direktorat Distribusi Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, memang meningkat secara signifikan. Namun secara kualitas masih perlu dipertanyakan. Film Indonesia ibarat berjalan di tempat, masih memakai “cara” yang lama dan genre yang sama yaitu mengenai cinta, hantu, dan seks. Ini dikarenakan mindset yang kita pakai sekarang masih sama seperti dulu, film sebagai komoditi bisnis. Padahal perfilman di Indonesia berada di bawah pengawasan Depbudpar, bukan Departemen Perdagangan seperti halnya di Amerika.

Agaknya, eforia kebebasan dan komersialisasi tidak cukup kuat meletakkan sinema Indonesia di peta dunia. Seharusnya kita mengerti bahwa di balik sebuah film terdapat kompetisi geniusitas, orisinalitas, serta spirit dan konsistensi untuk bertarung menemukan jalan bagi ide, cara bertutur, sponsor dan cara berdialog dengan penonton.[1] Keorisinilan itulah yang agaknya susah kita temui di masa sekarang. Para film maker lebih melihat selera pasar dibandingkan dengan “seni” film itu sendiri. Apabila film yang bergenre “ini” sedang ngetrend di pasaran, maka berbondong-bondonglah para stakeholders untuk membuat film berjenis sama. Bahkan studio bioskop dalam 1 minggu atau mungkin 1 bulan diisi oleh film yang berjenis sama.

Jangan sampai keadaan perfilman Indonesia saat ini nantinya akan menjadi boomerang yang menyerang balik ke arah para stakeholders (para pembuat film). Penonton jenuh dengan genre-genre film yang ada, dan malah meninggalkan dunia perfilman Indonesia. Suatu saat teman saya berkata kepada saya, ”Kalo film Indonesia mah gak usah nonton di bioskop, rugi. Ceritanya paling gitu-gitu aja. Lagian tinggal tunggu bajakannya aja beres kan? Trus, gak jarang, film Indonesia hanya dalam waktu yang singkat langsung ditayangkan di stasiun TV.”

Miris rasanya mendengar perkataan yang demikian, namun memang demikian keadaan film Indonesia saat sekarang. Ibarat hidup segan, mati pun tak mau. Secara garis besar, ada beberapa alasan mengapa film Indonesia susah berkembang:

1. Hanya mengikuti selera pasar

Seperti yang sudah saya bahas sedikit di atas, bahwa perfilman Indonesia susah untuk mengorisinilkannya. Karena kebanyakan dari para film maker hanya memikirkan keuntungan. Dengan begitu mereka hanya tinggal membuat film sesuai dengan selera pasar. Laku atau tidak lakunya film tersebut sepertinya mereka tidak ambil pusing. Yang penting mereka mendapat pemasukan dari para sponsor.

2. Tidak berjalannya perangkat sensor sesuai dengan tugasnya

Pernahkah kita berpikir, mengapa film bergenre horor-seks bisa bebas dan lolos dari badan sensor Indonesia? Padahal kita tahu sendiri bahwa film yang demikian seharusnya jalan masuknya terhambat karena mengusung film yang dapat merusak moral bangsa. Contohnya film Paku Kuntilanak.

Awalnya saya berniat untuk menonton film lain (saya lupa judulnya), tetapi kebetulan saat itu tiketnya habis terjual. Akhirnya saya memutuskan untuk menonton film yang dibintangi oleh artis kontroversial, Dewi Persik ini. Dan sampai detik ini, saya sangat amat menyesal karena telah membuang uang Rp 15.000,- saya untuk menonton film “kacau” seperti itu. Film yang juga dibintangi oleh artis Hollywood itu menurut saya sama sekali tidak bermanfaat dan tidak layak tonton. Terlihat bahwa industri film Indonesia seperti sedang mengejar setoran.

3. Kreativitas kurang dihargai

Kehadiran kamera-kamera digital membawa dampak positif pada dunia perfilman Indonesia. Saat ini mulai bermunculan film independen yang dibuat oleh para sineas kreatif Indonesia. Meskipun banyak film yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.

Selain itu, para produser di Indonesia memang selalu mementingkan yang namanya bisnis. Mereka takkan menerima sebuah ide yang cukup berbeda dan original apabila hal tersebut tidak sesuai dengan yang berkembang di pasaran. Mereka lebih memilih acara saduran dari luar negeri dibandingkan sebuah ide original. Walaupun ada beberapa produser yang berani tampil beda, tetapi itu dapat dihitung dengan jari.

4. Masa Pra-Produksi dianggap remeh

Untuk beberapa PH (Productin House), masa pra-production adalah masa di mana semua persiapan untuk shooting sudah dilakukan sebelum masa produksi. Antara lain pembuatan naskah, pengumpulan perlengkapan, pencarian bintang dan crew, dan hal yang paling penting yaitu masalah setting sinematografi. Yang termasuk ke dalam setting sinematografi adalah seperti setting lampu, setting kamera, ganti lensa, dan sebagainya. Ini merupakan hal yang terlihat remeh, tapi keberadaanya sangat penting demi kelancaran proses produksi nantinya.

Dalam proses produksi film di luar negeri, mereka sudah merencanakan semuanya saat pra-production. Mereka punya semua catatan setiap shot dan settingnya. Hal ini membuat saat proses shooting dimulai, semuanya sudah terencana dan cepat.

Di Indonesia, kebanyakan proses itu dilakukan saat shooting. Masa pra-produksi hanya diisi dengan casting, cari lokasi, dan kemudian reading. Sehingga pada saat shooting waktu yang dibutuhkan untuk setting bisa mencapai 45 menit dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap mood para aktor ataupun aktris. Hal ini akan berakibat pada kualitas aktingnya dalam film tersebut. Proses shooting pun akan menjadi lebih lama dan akhirnya dilakukan toleransi dengan cara penggunaan lighting dipukul rata, shot diambil sekali saja, dan hal-hal lain yang membuat kualitas film semakin menurun.

Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan :

· Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota.

· Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota. Namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. Bahkan seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film-film perlawanan yang ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni.

Film Indonesia mulai berusaha merangkak untuk maju. Para sineas sudah mulai menemukan genre baru dari perfilman Indonesia yaitu film yang mengusung tema motivasi. Contohnya seperti film King (namun dicekal karena menjadikan rokok sebagai sponsor utamanya), Garuda di Dadaku, serta film terlaris Indonesia, Laskar Pelangi. Film-film ini dirasa mendapat tempat di hati penonton Indonesia dikarenakan keinginan kuat dari masyarakat untuk melihat varietas dan kreativitas Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mulai membuat animasi seperti film Mengejar Impian yang baru-baru ini diputarkan di bioskop-bioskop Indonesia.

Menurut Direktur Perfilman Indonesia, ada tiga hal yang barangkali bisa membuat perfilman Indonesia bisa maju :

1. Kebijakan nasional untuk melindungi produk dalam negeri

Dengan cara membatasi film luar masuk ke Indoensia. Kalau hal ini susah untuk dilakukan, paling tidak dengan meningkatkan kualitas film agar para penonton tidak “lari” ke film luar.

2. Atmosfer film

Jangan biarkan industri film hanya terpusat pada ibukota saja (Jakarta.red). Para produser film juga harus melirik para sineas lokal yang memiliki bakat tak kalah hebatnya dibandingkan sineas tersohor Indonesia.

Selain itu, jangan hanya mengangkat tema tentang kota saja. Banyak kebudayaan lokal dan sejarah daerah yang bisa dikembangkan menjadi sebuah film, seperti film Merantau.

3. Partisipasi dari semua golongan, antara lain pemerintah, pemilik modal, terutama masyarakat yang dalam hal ini merupakan konsumen perfilman Indonesia.

Secara mutlak memang kita tidak bisa menyalahkan begitu saja para produser karena mereka pastinya membuat film berdasarkan selera masyarakat. Seharusnya masyarakat juga harus bertanggung jawab dengan keadaan perfilman Indonesia saat ini. Bertanyalah pada diri kita, mengapa kita bisa memilih film yang sebenarnya tidak layak tonton seperti horor dan komedi seks.

Dan pada akhirnya inilah pekerjaan rumah (PR) yang harus kita selesaikan bersama-sama. Bukan hanya para film maker, tetapi semua masyarakat Indonesia, demi perfilman Indonesia.

Referensi

Garin Nugroho, 2005. Seni Merayu Massa. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

A.Margija Mangunhardjana, SJ, 1976. Mengenal Film. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

JB Kristanto, 2004. Nonton Film, Nonton Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php

http://www.kapanlagi.com/a/resensi_film.html

http://www.21cineplex.com/merantau,movie,2120.htm,

http://jerryhadiprojo.wordpress.com/

[1] Garin Nugroho. Seni Merayu Massa. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.hal.77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar