Selasa, 29 Desember 2009

Globalisasi: Dominasi Pasar dan Sublimasi Peran Negara


Ketika sebuah negara sudah membuka celah yang besar untuk menerima masuk negara lain ke dalam negaranya, saat itulah istilah globalisasi itu muncul. Negara mulai merenggangkan kekuasaannya dan digantikan oleh hegemoni pasar yang dengan cara apapun akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Ketakutan masyarakat akan para penguasa berganti menjadi ketakutan pada para pemilik modal dalam hal ini adalah mereka yang menguasai pasar. Ini diakibatkan adanya gerakan ‘lepas tangan’ pemerintah terhadap segala aspek di dalam kehidupan masyarakat khususnya ekonomi.

Parahnya jika kebutuhan-kebutuhan vital masyarakat juga dikuasai oleh pasar. Hal ini akan menyebabkan berlakunya hukum rimba: siapa yang kuat, dia yang menang. Ada uang, ada barang. Tidak ada uang, mendingan ke laut deh! Tragis memang, namun seperti itulah keadaannya pada saat ini. Para pengusaha menengah ke bawah tidak dapat mempertahankan eksistensinya. Dengan begitu akan semakin membesar jurang pemisah antara si empunya modal dengan si ‘empunya kaki’ (kalangan bawah.red).

Ditambah lagi dengan adanya perusahaan transnasional dari negara maju. Dengan sistem perekonomian ‘licik’, mereka membangun perusahaan mereka di negara-negara berkembang. Di satu sisi memang terlihat seperti ‘dewa penyelamat’ di suatu negara karena secara tidak langsung mereka telah memberikan fasilitas kepada masyarakat daerah tempat perusahaan itu didirikan untuk memperoleh lapangan pekerjaan, entah itu dengan upah yang besar ataupun kecil. Namun ternyata lama kelamaan mereka mulai melakukan perbuatan licik dengan mengganti para pekerjanya dengan tenaga ahli pilihan mereka. Akibatnya, masyarakat yang awalnya sangat antusias dengan perusahaan tersebut malah balik menyerang mereka. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Perusahaan yang dibangun tidak dengan serta merta dapat dihancurkan begitu saja, karena mau tidak mau mereka juga memiliki peran yang besar dalam pembangunan di daerah sekitar proyek. Walaupun itu juga merupakan sebuah bentuk ‘sogokan’ terselubung. Kasus inilah yang terjadi di PT Freeport di Irian Jaya yang sampai saat ini masih belum menemukan titik terang penyelesaian masalahnya walaupun banyak usaha akomodasi yang telah dilakukan.

Semua aspek dalam masyarakat telah terkena virus globalisasi. Bukan hanya di bidang ekonomi, politik, sosial, bahkan di bidang budaya pun mereka telah melaju tanpa terkendalikan lagi. Salah satu contohnya dapat dilihat dari industri musik di Indonesia. Saat musik bergenre melayu ‘naik daun’, para produser musik pun berlomba-lomba untuk memproduksi musik yang berjenis sama. Ini digunakan untuk memenuhi permintaan pasar.

Jika kita lebih teliti mengulik masalah globalisasi ini maka akan terlihat seperti: pasar memang memiliki dominasi dalam setiap aspek masyarakat pada saat sekarang ini. Namun pasar pastinya mengikuti permintaan yang ada yaitu permintaan konsumen. Dan dalam hal ini yang berperan sebagai konsumen adalah kita, masyarakat. Jadi sebenarnya yang mengendalikan pasar adalah kita. Suatu corak yang berlaku di masyarakat ditentukan oleh masyarakatnya sendiri. Jadi tanyakan kepada diri kita, mengapa mau jadi korban pasar? Korban industrialisasi? Korban globalisasi?

Jadi hal paling utama yang harus dilakukan untuk menekan ataupun mengurangi bias negatif dari globalisasi ini yaitu kembali kepada masyarakatnya. Walaupun peran sistem yang berlaku di negara dan masyarakat juga sangat berpengaruh dalam prakteknya di lapangan. Kita mungkin tidak akan bisa terlalu anti akan globalisasi tersebut, karena fenomena ini telah mengakar kuat di peradaban dunia. Kalau kita melawan arus yang ada, bisa saja dikucilkan dari peradaban dunia nantinya. Kita harus selalu ingat bahwa negara sama halnya dengan manusia, tidak dapat berdiri sendiri tanpa negara lain. Kita hanya bisa berusaha untuk mengurangi bias negatif dari globalisasi tersebut. Mulailah dari diri sendiri. Paling tidak dapat membantu, walau hanya sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar