Rabu, 06 Januari 2010

DEMOKRATISASIKAH MEDIA PENYIARAN INDONESIA?


Berbicara tentang apakah media penyiaran di Indonesia telah membantu proses demokratisasi, menurut saya sebelum kita berbicara demokrasi dalam media penyiaran, kita harus mengerti dulu konteks demokrasinya. Setiap negara memiliki pengertian berbeda-beda mengenai demokrasi tersebut. Negara yang liberal kadang-kadang menganggap mereka termasuk negara demokrasi. Bahkan ada negara yang cenderung kepada komunis juga menganggap diri mereka penganut sistem demokrasi. Jadi, intinya adalah demokrasi itu sistem, dan sistem merupakan sebuah nilai, nilai adalah sesuatu yang abstrak sehingga setiap orang memiliki pandangan berbeda mengenai suatu objek.

Walaupun begitu, kita dapat menyatukan pandangan mengenai nilai terhadap suatu objek. Setidaknya berupa gambaran atau landasan pemikiran. Indonesia dalam hal ini menyatakan diri sebagai negara penganut demokrasi pancasila. Jadi landasan pemikiran kita mengenai demokrasi di Indonesia adalah pancasila. (Walaupun, Pancasila pun juga merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga jika memikirkan arti dari setiap sila di Pancasila kita bagaikan terombang-ambing di tengah samudra yang sangat luas.)

Jika kita melihat media penyiaran di Indonesia dari sudut pandang demokrasi pancasila, seperti mereka sudah mulai berusaha merangkak untuk mencapai sebuah demokratisasi. Namun walaupun begitu, tetap saja masih ada penyelewengan di dalamnya. Hal ini dapat terlihat dari sebuah berita di stasiun swasta TV One, Anteve dan Metro TV, pada saat terjadinya Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar beberapa waktu yang lalu. Kedua stasiun ini seperti yang kita ketahui merupakan kepunyaan dari dua kandidat terkuat calon ketua Partai Golkar, antara lain Aburizal Bakrie pemilik stasiun TV One da Anteve, sedangkan Surya Paloh pemilik stasiun Metro TV. Stasiun TV itu berlomba-lomba memberitakan kelebihan masing-masing pemiliknya. Padahal berita tersebut sangat tidak lebih penting dibandingkan dengan berita gempa Sumatera Barat yang kebetulan berbarengan terjadi.

Contoh lain terlihat dari jenis program acara di TV. Kebanyakan dari acara di TV itu memiliki jenis yang sama tiap stasiun TV. Walaupun dengan judul yang berbeda, tapi memiliki konsep yang sama. Hal seperti ini sering terjadi pada acara yang memiliki rating tinggi di masyarakat. Stasiun TV pasti akan berusaha membuat tayangan yang sama dengan acara tersebut. Mereka tidak memikirkan apakah penonton enjoy dengan keadaan yang sepertinya itu. Mereka hanya memikirkan keuntungan yang mereka dapat seandainya acara tersebut “laku” di pasaran. Semakin sebuah acara memiliki rating yang tinggi di masyarakat, semakin banyak pula iklan yang masuk ke acara tersebut. media penyiaran akhir-akhir ini memang telah menjadi ladang bisnis yang menguntungkan bagi para pebisnis. Inilah yang membuat penonton merasa bosan menyaksikan acara-acara di televisi dan akhirnya mereka pindah ke televisi kabel yang memberikan kesempatan kepada konsumennya untuk memilih tayangan yang cocok dengan selera.

Di dalam sebuah tulisan Andrew O Baoil berjudul The Effect of Ownership Structure on The Media Agenda, media penyiaran seperti yang dijelaskan di atas termasuk jenis kepemilikan conglomerate commercial model yaitu jenis kepemilikan yang semata-mata hanya mengacu pada pendapatan keuntungan semata tanpa memikirkan social impact di masyarakat.
Lagipula, banyak pihak yang berpendapat dengan pembentukan UU penyiaran, pers dan ITE semakin mengekang proses demokrasi di badan media penyiaran. Kebanyakan dari isi UU penyiaran memberikan otoritas tertinggi kepada pemerintah untuk mengatur perpanjangan izin penyiaran, pemberian izin penyiaran, mencabut izin penyiaran, serta memberikan sanksi kepada lebaga penyiaran. Dari sini terlihat bahwa demokrasi di media penyiaran Indonesia BELUM sepenuhnya tercipta. Namun paling tidak, sepertinya media penyiaran di Indonesia akan berusaha membenahi diri mereka dari tahun ke tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar